Jumat, 12 Oktober 2012

Putih


Adakah yang lebih elok dari warna putih?

Kali ini aku ingin cerita tentang putih
Wahai putih…
Kamu adalah cerita senyumku
Lewat embun tadi pagi

 Wahai putih…
Kamu adalah lukisan imajiku
Satu sisi yang menyenangkan hati

Aku mengiris luka ini sendiri
Berontak pada realita yang seakan jauh dari mimpiku
Laluh pada warna apa harus ku berlari,,
Hitam? Apakah dia teman baikmu?

Hei putih…
Sekarang aku berkawan dengan hitam
Dia ajarkan bnyak hal
Dia bilang aku jangan terpuruk dalam kegelapan
Kini aku paham
Satu sisi lagi yang tak menyenagkan hati
adalah hitam

Bahwa dalam hidup selalu ada putih dan hitam
Berbesar hatilah,
Bersyukur, dan Berdo’a
Ketika putih berganti hitam.

Akan kembali putih kemudian hitam lagi
Begitulah seterusnya. (Ami)



Rabu, 10 Oktober 2012


Melihat Langsung Proses Melukis
Pameran workshop seni rupa yang digelar para seniman lukis yang tergabung dalam Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Provinsi Jawa Barat ini berbeda dengan konsep pameran kebayakan, jika biasanya pengunjung cukup menikmati hasil-hasil karya lukisan yang sudah dipajang dan tertata rapi di dinding-dinding, disini pengunjung secara langsung bisa menyaksikan proses bagaimana para seniman ini melukis, menikmati bagaimana para seniman lukis ini berimajinasi dengan kanvas, kuas dan cat airnya.
“Masing-masing seniman membawa kanvas kosong dan alat-alat sendiri kamudian mereka bekerja dan melukisnya disini (YPK-red)”, papar Gani (40) yang ditemui sedang melukis, di gedung YPK, jalan Naripan No 9 Bandung, selasa (09/10). Pameran yang akan berlangsung dua minggu kedepan ini akan diisi dengan workshop dan pameran seni rupa hasil karya dari para seniman Bandung yang melibatkan seniman internasional. “Pameran ini bersifat internasionnal, karena ada seniman dari Jerman, Serbia dan Meksiko”, lanjut Gani seorang seniman alumni seni rupa ITB.
Pameran yang dibuka dari jam 10.00-22.00 WIB ini akan  memanjakan mata pengunjung dengan pemandangan dari ke-16 seniman yang sedang melukis. Menurut Gani, biasanya mulai ramai dari pukul 5 sore  sampai 9 malam, karena pada jam-jam itu para seniman mulai berkumpul dan melukis. Selain itu, para pengunjung juga bisa ikut belajar melukis atau dilukis, juga bisa melihat beberapa karya-karya fotografi yang ikut terpajang memenuhi ruang utama. (Sova Sandrawati)

Rabu, 16 Mei 2012

Foto: Istimewa



Pendidikan Menguras Biaya

            Awal April lalu, tepatnya 2 mei 2012 telah diperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas), seperti selalu ada harapan setiap hari itu diperingati, yaitu harapan tentang pendidikan yang lebih baik, baik secara sistem juga biaya. Mari sejenak kita mengingat perjuangan pahlawan Nasional kita yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.
Beliau menjadi icon Pendidikan Indonesia, dengan ajarannya yang memiliki semangat morality dan kemajuan “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada” yang bermakna dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik. Demikian ki Hajar Dewantara menularkan semangat pendidikannya untuk Indonesia, lantas hari ini, seperti apakah pendidikan di Indonesia?.
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Jelas, Indonesia memiliki aturan secara tertulis menganai keberlangsungan sistem pendidikan. Namun, pada prakteknya saat ini, pendidikan kita tidak sehat dan terkesan cacat hukum. Meskipun dalam aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.

Nyatanya, hari ini, biaya pendidikan dirasa mencekik perekonomian rakyat. Bagaimana tidak, biaya pendidikan sampai hari ini terus mengalami kenaikan yang melambung dan tak terbedung, parahnya anggaran pendidikan ini di tanggung rakyat masing-masing. Praktek sekuler dan materialistik di negera demokrasi menjalar hingga ke ranah pendidikan, sungguh miris. Alhasil tak sedikit putra-putri bangsa yang menangguhkan bahkan meninggalkan pendidikan. Sungguh memprihatikan, selanjutnya dimanakah generasi bangsa ini akan dicetak?.

Seperrti diprediksikan Henry A Giroux tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang memanjakan efisiensi ekonomis dalam praktiknya. Giroux menengarai bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi pengkerdilan makna dan hakikat pendidikan.
Betapa keniscayaan ini terjadi di negeri kita, di negeri yang memiliki sejarah pendidikan inovatif dari Ki Hajar dewantara. Tarif pendidikan yang mahal, pendidikan yang menguras biaya, ternyata tidak  bisa pula menjamin akan membawa pendidikan ke arah yang lebih transformatif, serta output yang dihasilkan berkualitas mumpuni untuk kemajuan dan pembangunan Indonesia. (Sova Sandrawati)

Minggu, 13 Mei 2012

Bahasa dan Simbol dalam Konteks Komunikasi Politik; Menjelang Pilgub Jabar



            Di negara kita, warna merah, kuning, hijau, biru dan dan kombinasi beberapa warna. telah tertanam dengan makna yang difahami masyarakat luas, Warna-warna itu telah menjadi simbol tetap dari beberapa partai politik di panggung politik kita.
Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat yang akan berlangsung 2013 nanti, bermunculanlah aktor lama dan aktor baru bahkan aktor independen ikut tampil di atas panggung politik kelak, tidak hanya itu para selebriti ikut unjuk gigi juga. Dengan berbagai bendera dan background yang disandangnya, mereka mulai berhamburan perang janji, salah satunya lewat iklan di media massa atau lewat papan-papan reklame, alhasil wajah-wajah calon pemimpin kita menghiasi jalanan.
Dalam dunia perpolitikan bahasa dan simbol merupakan hal paling penting yang dijadikan senjata alat komunikasi bagi mereka.  Menurut  Rush dan Althoff (1997: 255), komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik – merupakan unsur dinamis dari satu sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi.
Dari proses politik seperti itu, terlihat kemudian posisi penting komunikasi politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan. Proses ini berlangsung di semua tingkat masyarakat dan setiap tempat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi di antara individu dengan kelompoknya, bahkan di antara anggota masyarakat dengan para penguasanya.
Karena itu, menjelang pesta perayaan politik 2013 nanti, proses komunkasi politik ini telah gencar dilakukan oleh orang-orang partai politik. Dari sekarang masyarakat seakan di timpa  pesan-pesan politik yang menggiurkan, yang akhirnya siapa yang pencitraannya paling menarik maka ialah yang akan mendapat suara terbanyak, entah masyarakat itu benar-benar menyerap pesan tersebut atau hanya ikut-ikutan saja.
Jika suara terbanyak di dapat dari masyarakat awam yang ikut-ikutan saja “siapa yang paling ramai yang dipilih”, maka ini terjadi karena tipikal masyarakat Indonesia yang kolektivisme. Berbeda dengan corak individualisme yang berkembang di Negara-negara Barat, model kolektivisme suatu masyarakat seperti di Indonesia sangat menekankan pada kultur kebersamaan. (Harian Umum Pikiran Rakyat, 10 Mei 2012). Artinya rakyat memilih bukan atas dasar pemahaman dan pengetahuannya.
Bahasa dan Simbol Politik
Bahasa selain sebagai alat komunikasi ternyata memiliki pengertian dan pemaknaan yang luas, seperti pengertian yang satu ini. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk memaknai suatu realitas objektif semata. Namun bahasa juga merupakan kegiatan sosial, bukan sesuatu yang netral dan konsisten, melainkan partisipan sosial yang dapat dikonstruksi dan direkonstruksi, serta di-setting untuk membentuk gagasan dan tindakan seseorang. Menurut Michel Foucault (1972: 216).
Fenomena bahasa yang bisa di manifulasi ini sebagai salah satu cara yang juga dilakukan untuk membentuk pencitraan diri oleh para pemain politik, bagaimanapun bahasa ialah salah satu jalan agar terjalinnya suatu komunikasi dimana ada pesan yang ingin komunikator sampaikan diterima komunikan agar mendapat kesatuan makna yang ingin dicapai.
Bahasa digunakan oleh seorang pemimpin untuk memberikan image pemimpin yang kuat dan mampu bertindak menghadapi ancaman-ancaman yang terjadi dalam Negeri. Pada saat yang bersamaan bahasa digunakan pula untuk pengalihan isu atau persoalan lain. Situasi politik pada masa ini yang menyaksikan bahasa liberal menjadi bahasa utama dalam wacana politik, sehingga memaksa kumpulan konservatif menyesuaikan retorik dan juga tindakan dalam kes tertentu dengan bahasa liberal.
Selain bahasa, tindakan kelompok-kelompok politik ini juga sarat dengan pelbagai simbol yang ditujukan kepada rakyat untuk tujuan tertentu. Panggung politik bersama para aktornya menggunakan bahasa sebagai senjata untuk melancarkan aksi perpolitikannya. Tidak cukup dengan bahasa, simbol-simbol pun dijadikan sebagai identitas dari suatu kelompok tertentu. Lapangan politik mungkin tempat yang paling mudah untuk diperhatikan pelbagai simbol itu bercampur baur, menyampaikan pelbagai makna dan ditafsir untuk menyampaikan pesan masing-masing kepada masyarakat.
Di negara kita, warna merah, kuning, hijau, biru dan dan kombinasi beberapa warna. telah tertanam dengan makna yang difahami masyarakat luas, Warna-warna itu telah menjadi simbol tetap dari beberapa partai politik di panggung politik kita. Terutama bagi mereka yang aktif dalam politik, warna-warna tersebut membawa makna yang jelas. Istilah-istilah berbentuk tema tertentu juga menjadi salah satu cara aktor-aktor politik menyampaikan massage atau suasana tertentu, bertujuan membentuk mood rakyat pada masa tertentu.
Semua perhelatan politik, bahasa dan simbol menjadi suatu alat komunikasi politik yang relevan pada masanya kini. Seolah bahasa dan simbol politik ini harus tersampaikan pada publik. Secara otomatis media massa sangat berperan sebagai mediasi antara pemain politik dan masyarakat, sebagai objek politik yang akan terus manjadi partisipan politik yang kritis dan radikal dalam menilai perpolitikan di negeri ini. Maka, kita rakyat sebagai penonton, tentunya hanya menginginkan permainan politik ini dilakoni secara sehat dan jujur. Karena sejatinya rakyatlah yang akan memilih siapa yang pantas menjadi aktor di panggung politik ini. (Sova Sandrawati) 

Kamis, 09 Februari 2012

Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung Peringati Hari Pers Nasional



Jurnal Pos, Dalam memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-66, 9 Februari 2012, mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung mengikuti seminar jurnalistik yang bertemakan “Reorintasi Peran Media Massa”. Menanggapi tema tersebut Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prof. Dr. H. Asep Muhyidin, M.Ag  berpendapat bahwa saat ini media massa cenderung lebih banyak nilai-nilai entertaintnya dari pada nilai-nilai education. “Oleh karena itu diperlukan adanya reorientasi peran media yaitu bagaimana pers punya tanggung jawab terhadap kecerdasan dan juga pemberdayaan serta pencerahan terhadap masyarakat” jelasnya dalam konferensi pers (9/02).
Ia juga menambahkan seminar yang bertepatan dengan hari pers ini, memang dijadikan momentum kuliah umum dalam kuliah perdana di semester genap, sekaligus memaknai hari pers supaya bagaimana insan pers ini bisa merefleksikan dan melihat kembali fokus, arah, dan tugasnya yang mulia yaitu bagaimana mengorientasi esensi pers dalam memberdayakan masyarakat.
Acara yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa (Hima) Jurnalistik ini dimulai sejak pukul 08.30 di Aula Fakultas dakwah dan Komunikasi UIN Bandung. Menghadirkan pembicara Patra Hidayat selaku kepala biro SCTV Jabar dan Dr. H. Dede Mulkan selaku pengamat televisi.  Acara ini mendapat perhatian cukup besar terlihat antusiasme  dari pertanyaan yang dilontarkan para peserta pada setiap sesinya.
“Menurut kacamata saya, seminar tadi cukup seru partisipan juga aktif selama mengikuti acara, terbukti dengan banyaknya jumlah penanya hingga sesi akhir” kata Siti Dzarfah Maesaroh, mahasiswa jurnalistik angkatan 2011. Hanya saja ia menyesalkan mengenai tema yang kurang mengkrucut , karena garis besarnya “media masa”  tetapi  pembahasannya spesialis pertelevisan. “ Ya masih banyak yang perlu dibenahi, tapi secara keseluruahn bisa di bilang sukses”, ungkapnya.
Kedua pembicara tadi menjelaskan mengapa menjadi penting media massa saat ini untuk direorientasi?. Pembicara pertama Dede Mulkan lebih mengamati media televisi, khususnya berita televisi. Karena hal tersebut disinyalir sudah melenceng dari kode etik jurnalistik. Pertama, televisi harus bisa menjadi sebuah pasar yang ideal, yang bisa dimasuki oleh siapa saja, dan bisa diikuti oleh siapapun, yang bisa dintonton dan bisa didengar oleh masyarakat umum secara keseluruhan.
Yang kedua, ruang publik ini sesuatu yang netral yang tidak boleh diracuni oleh apapun, televisi selalu menjadi ajang penjualan produk, tetapi televisi juga mengikuti aturan pasar dan rating adalah menjadi ukuran utama dalam sebuah televisi.  Inilah sebuah kenyataan  yang terjadi di dunia pertelevisian saat ini, yakni adanya tekanan-tekanan dari pihak pengusaha, lebih komersial, dan mulai bermain politik. Sudah seharusnya media massa menyampaikan nilai-nilai informasi yang tunduk pada UU, agama, moral dan nilai-nilai sosial. “Mari kita kritisi media televisi untuk mendapatkan sesuatu yang mencerdaskan”  ajaknya mengakhiri  pembicaraan.
Berbeda dengan pembicara kedua, Patra Hidayat kepala Biro SCTV yang lebih memaparkan dari segi praktek karena pengalamannya sebagai wartawan liputan 6 SCTV  yang sudah bekerja selama hampir  12 tahun. Ia memaparkan kenapa media harus direorientasi?, menurutnya  kemungkinan itu karena ada sesuatu yang janggal yang tidak sesuai dengan fungsi seharunya. Ketika ada pemberitaan yang negatif itu bukan rekayasa wartawan tetapi itu memang realitas di lapangan, dan biasanya berita negatif tersebut yang justru diminati penonton. “Saya sebagai jurnalis, tidak menganggap bahwa berita itu bukanlah sesuatu yang bisa dijual, yang penting saya bisa menyampaikan berita yang ada kepada masyarakat” tegasnya.
Seminar jurnalistik  ini juga dihadiri oleh mahasiswa dari Unikom, Unpad, UPI. Bahkan diliput langsung oleh beberapa media seperti Harian Umum Republika, MQ Nasional, Koran Sindo, Inilahjabar dll. Acara seperti  ini rencanannya akan diselenggarakan setiap satu bulan sekali atas program dari kepemimpinan  Drs. H. Enjang AS, M.Si, M,Ag  yang baru menjabat satu setengah bulan sebagia ketua  program studi ilmu komunikasi, dan selelu bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Mengingat adanya penyebaran informasi mengenai seminar jurnalistik ini oleh beberapa media tadi, maka Dekan fakultas Dakwah dan Komunikasi  mengharapkan eksistensi ilmu komunikasi  khususnya jurusan Jurnalistik UIN Bandung mulai dibaca orang banyak. [] Sova Sandrawati

Kamis, 12 Januari 2012


Lindungi Pontensi Alam Kawasan Karst Citatah
Karst Citatah, kawasan yang terletak di Bandung bagian  Barat kecamatan Padalarang ini merupakan kawasan yang sangat potensial. Kawasan Karst Citatah merupakan warisan tertua di Pulau Jawa yang terbentang sepanjang enam kilometer dari Tagog Apu hingga Rajamandala. Jajaran gunung batu ini terbentuk pada zaman Miosen 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006). Kawasan ini  meliputi  Goa Pawon, Pasir Pawon, Pasir Masigit, Pasir bancana, Karang panganten, Gunung Manik, Pasir Pabeasan dan Gunung Hawu.
Kawasan Karst Citatah ini bukan hanya memiliki keindahan alam  dengan  bangun bentang alam yang khas, unik dan langka, tetapi mengandung nilai ilmiah, nilai ekonomi dan nilai kemanusiaan yang sangat bermanfaat. Nilai ilmiah disini berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan geologi, hidrologi, biologi, ekologi, arkeologi, kehutanan, dan sosio budaya. Nilai ekonomi berhubungan dengan keberadaannya sebagai sumber daya alam hayati dan nirhayati, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Penambangan batu gamping, fosfat guano, pengelolaan air, kehutanan, pertanian, perikanan, pariwisata dan bioekonomi (walet), semuanya memberi nilai ekonomi yang tidak sedikit. Nilai kemanusiaan, yang berhubungan dengan tatanan sosio budaya masyarakat setempat yang khas. Tercakup di dalamnya masalah kependudukan, pendidikan, estetika, adat istiadat, agama, kepercayaan, spiritual, dan pertahanan.
Namun saat ini yang dikahwatirkan ialah keindahan Karst Citatah dalam ancaman kehancuran karena adanya penambangan batu gamping yang berlebihan, eksploitasi penambangan batu kapur yang dilakukan dengan cara diledakan . bahan peledak yang mengandung rangkaian dinamit itulah yang berpotensi merusak lingkungan.
Tamim (60), warga asli sekitar kawasan Karst Citatah yang mengaku bekerja sebagai penambang manual menjadikan pekerjaannya sebagi mata pencahraiannya. “Saya menggunakan palu untuk menghancurkan batu-batu yang sekiranya masih bisa di hancurkan”, katanya ketika kami mengunjungi kawasan karst citatah (16/10). Ia setiap hari hanya memungut sisa batu-batu kecil yang berserakan di sekitar penambangan yang kemudian dijualnya ke pabrik-pabrik kapur yang beroprasi disekitar pegunungan Karst Citatah.
Meskipun aktifitas penambangan ini mendapat izin resmi dari pemerintah, alangkah indahnya jika tetap bisa menjaga potensi alam yang ada demi keindahan dan keseimbangan alam, dengan melakukan penambangan secara tidak berebihan dan menggunakan cara yang tidak merusak alam, hal ini agar masyarakat sekitarpun tetap berjalan harmonis dengan alam ingkungan sebagai tempat tinggalnya.[] Sova Sandrawati



Minggu, 25 Desember 2011

news feature


Area Sejuk di Daerah Industri
Jalanan sejuk itu berada diantara bangunan pabrik-pabrik yang berdiri kokoh, terdapat pabrik E-windo, Gramedia, Garuda, dan Djarum Super yang setiap harinya beroprasi. Namun ada yang berbeda di daerah yang di kelilingi industri tekstil ini, yakni masih adanya lahan hijau dipenuhi pepohonan yang setiap hari minggu pagi gantian warga sekitar yang memenuhi area ini, lahan seperti jalan raya seluas 5km menuju gunung geulis ini dijadikan tempat untuk rekreasi dan berolah raga.
“Suasannya sangat indah, sejuk dan segar di pagi hari. Tempat ini suka jadi tempat rekreasi keluarga, olahraga, ataupun sebagai arena permainan bagi warga sekitar”, kata Sopi Sopiah (20) warga asli rencaekek yang saat itu sedang berjalan santai  bersama teman-temannya, Minggu (25/12). Lahan sekitar pabrik yang dijadikan tempat berlibur di hari minggu oleh warga sekitar itu berada di daerah Rancaekek Bandung, warga mengenal tempat itu dengan sebutan “js”, sebutan itu diambil dari pengucapan salah satu nama  pabrik yaitu “djarum super”.
Tidak hanya itu, setiap minggu pagi pula daerah ini diramaikan oleh adanya pasar kaget sepanjang jalan raya diluar area tadi, sehingga orang-orang yang datang  kesana dengan berbagai motif, seperti salah satu pengunjung Cucun Salamh (49) yang khusus datang untuk berbelanja “saya kesini mau belanja untuk keperluan dapur”, ungkapnya. Keberadaan area ini ternyata memang di manfaatkan pula oleh warga untuk berdagang. “Saya berjualan disini sejak tahun 2004” tutur Eli (36) penjual buah strawbery yang menjajakan buah merah diatas meja kecilnya itu. [Sova Sandrawati]