Pendidikan Menguras Biaya
Awal April
lalu, tepatnya 2 mei 2012 telah diperingati hari pendidikan nasional
(Hardiknas), seperti selalu ada harapan setiap hari itu diperingati, yaitu
harapan tentang pendidikan yang lebih baik, baik secara sistem juga biaya. Mari
sejenak kita mengingat perjuangan pahlawan Nasional kita yang juga dikenal
sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.
Beliau menjadi icon
Pendidikan Indonesia, dengan ajarannya yang memiliki semangat morality dan kemajuan “tut wuri
handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada” yang bermakna dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau
di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan di depan seorang pendidik
harus memberi teladan atau contoh tindakan baik. Demikian ki Hajar Dewantara
menularkan semangat pendidikannya untuk Indonesia, lantas hari ini, seperti
apakah pendidikan di Indonesia?.
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai
kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat
(1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat
(3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang. Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Jelas, Indonesia memiliki aturan secara tertulis menganai
keberlangsungan sistem pendidikan. Namun, pada prakteknya saat ini, pendidikan
kita tidak sehat dan terkesan cacat hukum. Meskipun dalam aturan yang termuat
dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya
bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima
anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus
dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Nyatanya, hari ini, biaya pendidikan dirasa mencekik
perekonomian rakyat. Bagaimana tidak, biaya pendidikan sampai hari ini terus
mengalami kenaikan yang melambung dan tak terbedung, parahnya anggaran
pendidikan ini di tanggung rakyat masing-masing. Praktek sekuler dan materialistik
di negera demokrasi menjalar hingga ke ranah pendidikan, sungguh miris. Alhasil
tak sedikit putra-putri bangsa yang menangguhkan bahkan meninggalkan
pendidikan. Sungguh memprihatikan, selanjutnya dimanakah generasi bangsa ini
akan dicetak?.
Seperrti
diprediksikan Henry A Giroux tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang
memanjakan efisiensi ekonomis dalam praktiknya. Giroux menengarai bahwa dalam
dunia pendidikan telah terjadi pengkerdilan makna dan hakikat pendidikan.
Betapa keniscayaan
ini terjadi di negeri kita, di negeri yang memiliki sejarah pendidikan inovatif
dari Ki Hajar dewantara. Tarif pendidikan yang mahal, pendidikan yang menguras
biaya, ternyata tidak bisa pula menjamin
akan membawa pendidikan ke arah yang lebih transformatif, serta output yang dihasilkan berkualitas
mumpuni untuk kemajuan dan pembangunan Indonesia. (Sova Sandrawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar