Rabu, 16 Mei 2012

Foto: Istimewa



Pendidikan Menguras Biaya

            Awal April lalu, tepatnya 2 mei 2012 telah diperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas), seperti selalu ada harapan setiap hari itu diperingati, yaitu harapan tentang pendidikan yang lebih baik, baik secara sistem juga biaya. Mari sejenak kita mengingat perjuangan pahlawan Nasional kita yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.
Beliau menjadi icon Pendidikan Indonesia, dengan ajarannya yang memiliki semangat morality dan kemajuan “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada” yang bermakna dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik. Demikian ki Hajar Dewantara menularkan semangat pendidikannya untuk Indonesia, lantas hari ini, seperti apakah pendidikan di Indonesia?.
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Jelas, Indonesia memiliki aturan secara tertulis menganai keberlangsungan sistem pendidikan. Namun, pada prakteknya saat ini, pendidikan kita tidak sehat dan terkesan cacat hukum. Meskipun dalam aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.

Nyatanya, hari ini, biaya pendidikan dirasa mencekik perekonomian rakyat. Bagaimana tidak, biaya pendidikan sampai hari ini terus mengalami kenaikan yang melambung dan tak terbedung, parahnya anggaran pendidikan ini di tanggung rakyat masing-masing. Praktek sekuler dan materialistik di negera demokrasi menjalar hingga ke ranah pendidikan, sungguh miris. Alhasil tak sedikit putra-putri bangsa yang menangguhkan bahkan meninggalkan pendidikan. Sungguh memprihatikan, selanjutnya dimanakah generasi bangsa ini akan dicetak?.

Seperrti diprediksikan Henry A Giroux tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang memanjakan efisiensi ekonomis dalam praktiknya. Giroux menengarai bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi pengkerdilan makna dan hakikat pendidikan.
Betapa keniscayaan ini terjadi di negeri kita, di negeri yang memiliki sejarah pendidikan inovatif dari Ki Hajar dewantara. Tarif pendidikan yang mahal, pendidikan yang menguras biaya, ternyata tidak  bisa pula menjamin akan membawa pendidikan ke arah yang lebih transformatif, serta output yang dihasilkan berkualitas mumpuni untuk kemajuan dan pembangunan Indonesia. (Sova Sandrawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar